Senin, 15 Juli 2024

SYARAH KITAB TAUHID (1) - Muqadimmah (Pembagian Tauhid)

كِتَابُ التَّوْحِيْدِ

MUQADIMMAH

Tauhid adalah masdar dari wahhada (وَحَّدَ) yuwahhidu (يُوَحِّدُ) tauhiidan (تَوْحِيْدًا), yang artinya secara bahasa adalah ; “Mengesakan”, yaitu menjadikannya satu. Dan istilah tauhid disebutkan dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya sabda Nabi kepada Mu’adz bin Jabal takala Nabi mengutusnya ke negeri Yaman :

إِنكَ ستأتي قوماً أهلَ كتابٍ، فإذا جئتَهم فادْعُهمْ إِلى أنْ يشهَدوا أنْ لا إِله إلا الله، وأنَّ محمداً رسولُ الله

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum Ahlul Kitab. Maka jika engkau mendatangi mereka serulah mereka agar mereka bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah”([1])

Dalam sebuah riwayat :

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ الله

“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah beribadah kepada Allah”([2]).

Dalam sebuah riwayat yang lain :

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ

“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah” ([3])

Dalam riwayat yang lain :

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ تَوْحِيدُ اللَّهِ

“Maka jadikanlah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah([4])

Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مِتُّ، فَخُذُونِي وَاحْرُقُونِي، حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمَةً، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فِي يَوْمٍ رَاحٍ، قَالَ: فَفَعَلُوا بِهِ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللهِ، قَالَ: فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ : مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: مَخَافَتُكَ، قَالَ: فَغَفَرَ اللهُ لَهُ

“Sesungguhnya ada seorang lelaki yang tidak mengamalkan kebaikan sama sekali kecuali tauhid. Tatkala ia akan meninggal dunia ia berkata kepada keluarganya ; “Jika aku wafat maka ambillah jasadku lalu bakarlah hingga aku menjadi hangus, lalu girislah aku sampai jadi debu, lalu tebarkanlah aku di laut di hari yang bertiup angin kencang”. Maka merekapun melakukannya. Tiba-tiba ia berada pada genggaman Allah, maka Allah berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukannya?”. Ia berkata, “Karena takut kepadaMu”. Maka Allah pun mengampuninya’. ([5])

Dalam hadits yang lain :

أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَنْحَرَ مِائَةَ بَدَنَةٍ وَأَنَّ هِشَامَ بْنَ الْعَاصِي نَحَرَ حِصَّتَهُ خَمْسِينَ بَدَنَةً وَأَنَّ عَمْرًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: ” أَمَّا أَبُوكَ، فَلَوْ كَانَ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ، فَصُمْتَ، وَتَصَدَّقْتَ عَنْهُ، نَفَعَهُ ذَلِكَ

Bahwasanya al-‘Aash bin Wa’il di zaman jahiliyah bernadzar untuk menyembelih 100 onta, dan (putranya) Hisyam bin al-‘Aash menyembelih bagiannya 50 onta, dan ‘Amr bin al-‘Aash (radhiallahu ‘anhu) bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu (yaitu apakah ia boleh menyembelih sisanya 50 ekor onta –pent). Maka Nabi berkata kepadanya, “Adapun ayahmu (yaitu al-‘Aaash bin Wa’il) kalau seandainya ia berikrar dengan tauhid, lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya maka akan bermanfaat baginya.” ([6])

Demikian juga para sahabat juga menggunakan istilah tauhid sebagaimana datang dalam sebagian hadits, diantaranya :

Jabir bin Abdullah berkata :

فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ «لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ»

“Maka Nabipun bertalbiah dengan tauhid Labbaik Allahumma Labbaik….”([7])

Jadi istilah tauhid bukanlah istilah yang baru, oleh karenanya para ulama menulis buku-buku yang mereka beri judul Kitab at-Tauhid. Seperti At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H) dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah (wafat 395 H). Al-Imam Al-Bukhari membahwakan hadits Muadz bin Jabal di atas dalam Shahihnya dalam Kitab at-Tauhid dalam bab :

مَا جَاءَ فِي دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ إِلَى تَوْحِيدِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Hadits-hadits tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru umatnya kepada bertauhid kepada Allah tabaraka wa ta’aala”

Pembagian Tauhid

Asalnya tauhid tidak boleh dibagi, karena rububiyah Allah, dan uluhiahNya serta asma’ wa sifaatNya adalah satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan. Akan tetapi makhluk (kaum musyrikin lah yang melakukan pembagian). Dahulu setelah diutusnya nabi Adam tauhid dipahami oleh manusia secara terakumulasi tanpa ada pembagian, hingga akhirnya setelah 10 kurun munculah kesyirikan. Kesyirikan inilah yang merupakan bentuk pemecahan tauhid, karena mereka mentauhidkan Allah pada sebagian sisi dan membatalkan tauhid Allah pada sisi yang lain. Allah berfirman tentang kondisi kaum musyrikin Arab ;

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (QS. Yusuf : 106)

Jadi kaum musyrikin yang telah memisah-misahkan tauhid, maka Allahpun menjelaskan keyakinan mereka yang salah ini, dengan menjelaskan bahwa iman (tauhid) mereka tercampur dengan kesyirikan. Ternyata keyakinan (tauhid) mereka yang disebut oleh Allah dengan “iman” adalah keyakinan mereka bahwa Allah maha pencipta dan maha pemberi rizki (yang merupakan tauhid ar-Rububiyah). Adapun kesyirikan mereka yang Allah sebutkan pada ayat tersebut adalah mereka menyembah kepada selain Allah, artinya keyakinan mereka rusak dari sisi tauhid al-‘Ibadah. Maka terjadilah pembagian tauhid secara otomatis untuk menjelaskan titik yang benar dan titik yang salah. Jadi merekalah kaum musyrikin yang membagi tauhid, maka Allah turunkan ayat-ayat kepada mereka agar mereka tidak membagi tauhid, bertauhid pada satu bagian/sisi dan berbuat syirik pada sisi yang lain. Diantaranya firman Allah melarang mereka membagi-bagi tauhid :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah : 21-22)

Jadi pembagian tauhid menjadi tiga adalah untuk memudahkan pemahaman yang benar bahwasanya tauhid tidak boleh dibagi-bagi.

Pembagian tauhid tersebut adalah :

Pertama ; Tauhid ar-Rububiyah

Kedua : Tauhid al-Uluhiyah

Ketiga ; Tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat

Adapun tauhid ar-Rububiyah adalah : تَوْحِيْدُ اللهِ بِأَفْعَالِهِ artinya mengesakan perbuatan-perbuatan Allah, bahwasanya hanya Allah semata yang melakukannya tanpa ada cempur tangan dan andil yang lain sama sekali. Dan af’aalullah (أَفْعَالُ اللهِ) banyak, seperti penciptaan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur alam semesta, memberi manfaat dan mudharat, menyembuhkan, mengabulkan doa dan yang lainnya.

Tauhid Ar-Rububiyah berporos pada tiga perkara, (1) Penciptaan (الْخَلْقُ), yaitu Allah menciptakan makhluk dari tidak ada menjadi ada. (2) Kepemilikian (الْمُلْكُ), artinya karena hanya Allah yang menciptakan alam semesta beserta isinya maka hanya Allah yang memiliki itu semuanya. (3) Pengaturan (التَّدْبِيْرُ), jadi tidak ada yang ikut serta bersama Allah dalam pengaturan alam semesta, semua yang terjadi adalah di bawah aturan Allah.

Adapun tauhid al-Uluhiyah (atau al-Ilahiyah atau al-ibadah) adalah mengesakan Allah dalam peribadatan, artinya hamba hanya boleh beribadah kepada Allah semata. Jika tauhid ar-Rububiyah berkaitan dengan أَفْعَالُ اللهِ (perbuatan-perbuatan Allah, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, dll), adapun tauhid al-Uluhiyah (al-‘Ibadah) maka berkaitan dengan أَفْعَالُ الْعَبْدِ (perbuatan hamba) yang mencakup bentuk-bentuk ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih, khauf (takut), radja (berharap), tawakkal, dll.

Adapun tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat yaitu seorang hamba meyakini bahwasanya Allah Maha Esa dengan kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi dalam nama-nama dan sifat-sifatNya yang agung, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah dari sisi nama dan sifatNya. Meskipun bisa jadi nama dan sifatnya sama antara makhluk dengan Allah tapi hakikatnya berbeda.

Tauhid ar-Rububiyah dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Sifaat berkaitan dengan dzat Allah yang harus diyakini bahwa Allah Maha Esa dalam rububiyahNya dan asma’ dan sifaatNya. Para hamba harus mengilmui dan meyakini hal ini.

Adapun tauhid al-Uluhiyah berkaitan dengan perbuatan hamba, yaitu hamba hanya boleh beribadah kepada Allah, karena Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah karena Allah Maha Esa dalam rububiyahnya dan asmaa’ wa shifaatNya. Dari sinilah ada sebagian ulama yang membagi tauhid menjadi dua, (1) Tauhid al-ilmi wa al-ma’rifah, yang mencakup tauhid ar-Rububiyah dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Shifaat, karena fokusnya adalah agar para hamba mengilmui dan bermakrifat tentang rububiyah Allah dan asmaa’ wa shifaatNya. Yang ke (2) Tauhid al-‘Amal wa at-Thalab yang berkaitan dengan tauhidu al-Uluhiyah karena fokusnya adalah menuntut (thalab) para hamba untuk ber-amal hanya untuk Allah.