Hakikat dan Kedudukan Tauhid (dalil 1)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi membawakan dalil pertama dalam kitab tauhid adalah surat Adz Dzariyyat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin (1) dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah (2) kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat: 56 ). (3)
Footnote :
1. Ini dalil bahwa jin juga mukallaf (dibebani oleh syari’at), karena para nabi juga diutus kepada mereka, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diutus kepada golongan jin. Karenanya mereka juga mendapatkan balasan di dunia dan juga balasan di akhirat, dengan masuk surga atau masuk neraka.
Allah berfirman :
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا (15) وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Adapun kaum jin yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)” (QS Al-Jinn : 15-16)
Oleh karenanya jin juga memiliki berbagai macam aliran, Allah berfirman tentang perkataan para jin tentang diri mereka :
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda (QS. Al-Jinn : 11)
Ibnu Katsir meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-A’masy rahimahullah beliau pernah bertanya kepada jin :
فَمَا الرَّافِضَةُ فِيكُمْ ؟ قَالَ شَرُّنَا
“Bagaimana syi’ah Rafidah di sisi kalian?”. Jin tersebut menjawab, “Paling buruk diantara kami” (Tafsir Ibnu Katsir 8/242) Ini menunjukkan kaum jin juga ada yang shalih dan ada yang fajir, ada yang mukmin ada yang kafir, dan yang muslim pun beraliran-aliran.
Akan tetapi apakah tata cara ibadah mereka persis seperti ibadah kita? Az-Zarkasyi berkata, “Telah terjadi perdebatan di kalangan ulama belakangan tentang apakah para jin dibebankan untuk menjalankan furu’ (cabang-cabang) syari’at?. Maka ahli tahqiq (para peneliti) diantara mereka berpendapat bahwasanya para jin sama dibebani secara global, akan tetapi tidak sama persis seperti syari’at manusia, karena para jin berbeda dengan manusia baik secara definisi maupun hakikat. Maka tentunya akan berbeda pula pada sebagian syari’at. Contohnya sebagian jin telah diberikan kekuatan untuk terbang di udara, dan mereka juga diperintahkan untuk berhaji dengan terbang, sementara manusia tidak diperintahkan demikian karena tidak bisa terbang. Akan tetapi sebaliknya jin tentu dibebankan dengan perintah/syari’at yang tidak dibebankan kepada manusia. Maka setiap syari’at yang berkaitan dengan syari’at tabi’at manusia (secara khusus) maka tidak akan dibebankan kepada jin karena jin tidak memiliki tabi’at tersebut. (Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh 1/309)
Maka tidak perlu kita membahas dan mencari tahu tentang bagaimana tata cara wudhu jin, cara beristinja mereka, atau yang lainnya karena kita tidak tahu hakekat mereka.
2. Ibadah secara bahasa kembali kepada makna hina dan rendah dan ketundukan. Dikatakan الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ artinya hamba yang dimiliki, الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ artinya jalan yang telah ditundukan oleh kaki-kaki sehingga mudah untuk ditempuh (lihat Mu’jam Maqooyiis al-Lughoh 4/205-206).
Adapun ibadah secara istilah syari’at maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ: مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
“Ibadah berarti suatu kata yang mencakup segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah” (Majmuu’ Al-Fataawa 10/149)
Dan ibadah -ditinjau dari pelakunya- yaitu yang menggabungkan antara ketundukan dan kecintaan, ketundukan tanpa kecintaan bukanlah ibadah, dan demikian juga sebaliknya. Ibnu Taimiyyah berkata :
اسْم يجمع كَمَالَ الذُّلِّ وَنِهَايَتَهُ وَكَمَالَ الْحُبِّ للهِ وَنِهَايَتَهُ فَالْحُبُّ الْخَلِيُّ عَنْ ذُلٍّ وَالذُّلُّ الْخَلِيُّ عَنْ حُبٍّ لاَ يَكُوْنُ عِبَادَةً وَإِنَّمَا الْعِبَادَةُ مَا يَجْمَعُ كَمَالَ الْأَمْرَيْنِ
“Ibadah adalah kata yang mengumpulkan ketundukan yang sempurna dan puncaknya dengan kecintaan kepada Allah yang sempurna dan puncaknya. Maka kecintaan yang kosong dari ketundukan demikian juga ketundukan yang kosong dari kecintaan bukanlah ibadah. Hanyalah dikatakan ibadah jika mengumpulkan dua perkara tersebut dengan sempurna” (At-Tuhfah al-‘Irooqiyah hal 44)
3. Dalil Pertama : Sisi pendalilan penulis dari ayat ini yaitu bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Dan ibadah tentu yang dimaksud adalah tauhid, yaitu peribadatan hanya untuk Allah, karena tidak mungkin Allah memerintahkan untuk beribadah kepada selain Allah. Karenanya Allah berdalil dengan Rububiyah-Nya, yaitu Allah yang menciptakan mereka dan Allah yang memberi rizki kepada mereka. Ini sebagai isyarat bahwa jika mereka ternyata beribadah kepada selain Allah maka sungguh mereka telah terjerumus dalam kezaliman yang besar, karena Allah semata yang telah menciptakan mereka dan memberi rizki kepada mereka, dan Allah menciptakan mereka untuk semata beribadah kepadaNya.
Sungguh ayat ini menjelaskan tentang tujuan teragung dari penciptaan manusia dan jin. Allah tidak menyebutkan hewan pada ayat ini. Karenanya jika manusia dan jin tidak melakukan tujuan penciptaan ini maka tidak ada bedanya antara mereka dengan hewan-hewan. Bahkan mereka akan lebih parah daripada hewan, karena hewan tidak dibebani dengan perintah dan pertanggung jawaban, sementara manusia dan jin akan bertanggung jawab di akhirat kelak. Karenanya orang kafir tatkala melihat hewan-hewan ternak di akhirat diqishas setelah itu menjadi tanah maka tatkala itu orang kafir berkata :
يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا
“Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah” (QS. An-Naba’ : 40)
Maka tujuan yang agung ini harus ditunaikan oleh manusia dan jin, jika tidak maka mereka akan terhamparkan ke neraka.
Jika ada yang berkata firman Allah (Kecuali untuk beribadah kepadaKu) menunjukkan pembatasan, sementara kita dapati kebanyakan waktu kita bukan untuk beribadah. Waktu sebagian kita untuk shalat, untuk baca al-Qur’an, untuk berdzikir tidaklah banyak dibandingkan waktu kita untuk mencari dunia. Lantas bagaimana ia bisa mengamalkan ayat ini?. Asalnya manusia dalam kondisi ibadah, karena ibadah –menurut definisi Ibnu Taimiyyah- mencakup segala perkara yang dicintai Allah, dan tidak terbatas pada ibadah mahdlah. Maka ia berusaha beribadah kepada Allah dalam segala kegiatannya. Jika ia melihat perkara dunia maka hendaknya ia niatkan dalam rangka untuk memantapkan ibadahnya kepada Allah. Jika ia makan hendaknya diniatkan agar kuat beribadah, demikian juga jika ia tidur dan istirahat. Dan ini termasuk dalam kaidah :
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu kewajiban tidak bisa dikerjakan kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang lain itu juga wajib”
Karena seorang tidak mungkin untuk bisa memantapkan dan menjalankan ibadahnya kecuali dengan mengamalkan firman Allah
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qosos : 77)
Akan tetapi jika seseorang waktu dan jerih payahnya habis semata-mata untuk dunia, bahkan akhirat dinomer duakan, atau bahkan dikorbankan demi dunia, maka jadilah ia penyembah dunia. Nabi bersabda
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ
“Celaka hamba dinar dan dirham” (HR Al-Bukhari no 2886)
dali kedua
Bersambung - Insyaa Allah