Senin, 22 Juli 2024

SYARAH KITAB TAUHID (9) PART 3 - Tabarruk Kepada Pohon, Bebatuan dll

 

BAB 9

بَابُ مَنْ تَبَرَّكَ بِشَجَرَةٍ أَوْ حَجَرٍ وَنَحْوِهِمَا

BARANGSIAPA YANG MENGHARAPKAN BERKAH DARI PEPOHONAN, BEBATUAN ATAU YANG SEJENISNYA


Abi Waqid Al Laitsi menuturkan: “Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam), disaat itu orang-orang musyrik memiliki sepokok pohon bidara yang dikenal dengan Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya/berdiam dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, di saat kami sedang melewati pohon bidara tersebut, kami berkata: “ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu anwath sebagaimana mereka memilikinya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اللهُ أَكْبَرُ إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى- اجْعَل لَّنَا إِلَـٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ  لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian) demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan, Musa menjawab: sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti (faham)” kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.”(HR. Turmudzi, dan dia menshahihkannya). ([1])

Kandungan dalam bab ini:

  1. Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat An Najm.
  2. Mengetahui bentuk permintaan mereka ([5]).
  3. Mereka belum melakukan apa yang mereka minta.
  4. Mereka melakukan itu semua untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena mereka beranggapan bahwa Allah menyukai perbuatan itu.
  5. Apabila mereka tidak mengerti hal ini, maka selain mereka lebih tidak mengerti lagi.
  6. Mereka memiliki kebaikan-kebaikan dan jaminan maghfirah (untuk diampuni) yang tidak dimiliki oleh orang-orang selain mereka.
  7. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan mereka, bahkan menyanggahnya dengan sabdanya: “Allahu Akbar, sungguh itu adalah tradisi orang-orang sebelum kalian dan kalian akan mengikuti mereka”. Beliau bersikap keras terhadap permintaan mereka itu dengan ketiga kalimat ini.
  8. Satu hal yang sangat penting adalah pemberitahuan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa permintaan mereka itu persis seperti permintaan Bani Israel kepada nabi Musa: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai sesembahan-sesembahan …”
  9. Pengingkaran terhadap hal tersebut adalah termasuk di antara pengertian لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang sebenarnya, yang belum difahami oleh mereka yang baru masuk Islam.
  10. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan sumpah dalam menyampaikan petunjuknya, dan beliau tidak berbuat demikian kecuali untuk kemaslahatan.
  11. Syirik itu ada yang besar dan ada yang kecil, buktinya mereka tidak dianggap murtad dengan permintaannya itu. ([6])
  12. Perkataan mereka:“…sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk islam) …” menunjukan bahwa para sahabat yang lain mengerti bahwa perbuatan mereka termasuk syirik.
  13. Diperbolehkan bertakbir ketika merasa terperanjat, atau mendengar sesuatu yang tidak patut diucapkan dalam agama, berlainan dengan pendapat orang yang menganggapnya makruh.
  14. Diperintahkan menutup pintu yang menuju kemusyrikan.
  15. Dilarang meniru dan melakukan suatu perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang Jahiliyah. ([7])
  16. Boleh marah ketika menyampaikan pelajaran.
  17. Kaidah umum, bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti tradisi-tradisi umat sebelumnya, berdasarkan Sabda Nabi “itulah tradisi orang orang sebelum kamu … dst”
  18. Ini adalah salah satu dari tanda kenabian Nabi Muhammad, karena terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.
  19. Celaan Allah yang ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani, yang terdapat dalam Al qur’an berlaku juga untuk kita.
  20. Sudah menjadi ketentuan umum di kalangan para sahabat, bahwa ibadah itu harus berdasarkan perintah Allah [bukan mengikuti keinginan, pikiran atau hawa nafsu sendiri]. Dengan demikian, hadits di atas mengandung suatu isyarat tentang hal-hal yang akan ditanyakan kepada manusia di alam kubur. Adapun “Siapakah Tuhanmu? sudah jelas; sedangkan “Siapakah Nabimu? berdasarkan keterangan masalah-masalah ghaib yang beliau beritakan akan terjadi; dan “Apakah agamamu? berdasarkan pada ucapan mereka: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan … dst”
  21. Tradisi orang-orang ahli kitab itu tercela seperti tradisinya orang-orang musyrik.
  22. Orang yang baru saja pindah dari tradisi-tradisi batil yang sudah menjadi kebiasaan dalam dirinya, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa dirinya terbebas dari sisa-sisa tradisi tersebut, sebagai buktinya mereka mengatakan: “kami baru saja masuk islam” dan merekapun belum terlepas dari tradis- tradisi kafir, karena kenyataannya mereka meminta dibuatkan Dzatu Anwath sebagaimana yang dipunyai oleh kaum musyrikin.

Penjelasan :
[1] Dalil Kedua : Hadits Abu Waqid al-Laitsi tentang pohon Dzatu Anwaat.

Keyakinan kaum musyrikin terhadap pohon tersebut mencakup tiga perkara :

  • Mereka mengagungkan pohon tersebut
  • Mereka menetap di pohon tersebut (untuk beribadah)
  • Mereka menggantungkan senjata-senjata mereka (pedang dan panah) di pohon tersebut dalam rangka mencari keberkahan agar keberkahannya berpindah dari pohon ke senjata-senjata mereka. Yaitu agar pedangnya lebih tajam dan agar mereka lebih kuat dalam menggunakan pedang-pedang mereka.

Perbuatan mereka ini merupakan syirik akbar karena ‘ukuf (menetapi/melazimi sesuatu dengan bentuk pengagungan dan mendekatkan diri) adalah ibadah, karenanya mereka mencari keberkahan dari pohon tersebut. Lantaran terkumpul pada mereka tiga perkara ini maka mereka telah terjerumus dalam syirik akbar.

Sebagian sahabat -karena baru saja masuk Islam- kemudian meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar membuatkan bagi mereka seperti pohon milik kaum musyrikin. Para sahabat tidak menyangka bahwa permintaan mereka tersebut merupakan kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka dengan keras dan menyamakan perkataan (permintaan) para sahabat seperti perkataan kaum Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Musa “Buatkanlah bagi kami sesembahan sebagaimana bagi mereka (kaum musyrikin yang menyembah berhala) memliki sesembahan”. Tentu saja para sahabat Nabi maupun sahabat Nabi Musa tidak menyembah selain Allah, sementara mereka (kaum musyrikin di zaman Nabi Musa dan Nabi Muhammad) menyembah berhala selain Allah. Maka Nabi menyamakan perkataan para sahabat dengan perkataan kaum Nabi Musa. Mereka hanya meminta, dan setelah ditegur akhirnya mereka meninggalkan apa yang mereka minta. Seandainya mereka melakukan apa yang mereka minta -untuk memiliki seperti pohon Dzatu Anwat- niscaya mereka akan terjerumus dalam syirik besar.

Secara Dzhohir bahwasanya kaum musyrikin terjerumus dalam syirik akbar bukan hanya sekedar bertabarruk dengan pohon Dzatu Anwat, akan tetapi karena disertai pengagungan terhadap pohon tersebut seakan-akan pohon tersebut ada ruhnya yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Dan ini sama dengan berhala al-Uzza yang berbentuk pepohonan, yang tatkala ditebang oleh Kholid bin Al-Waliid ternyata ada jin yang menempati pohon tersebut.

Hal ini mirip sekali dengan orang-orang yang mengusap-ngusap kuburan atau besi-besi dinding/pagar kuburan dengan keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudorot, dan dengan mengusap-ngusapnya akan mendekatkan diri mereka kepada Allah, maka inilah syirik besar.

Lain halnya yang dilakukan oleh sebagian orang jahil yang mengusap pintu-pintu masjidil harom atau mesjid nabawi dengan niat sekedar mencari keberkahan dari mesjid al-Harom atau mesjid Nabawi, perbuatan seperti ini hanyalah syirik kecil. Lain halnya jika mereka meyakini bahwa pada tiang mesjid ada ruh orang sholeh atau tiang tersebut dibangun di atas kuburan orang sholeh, dan dengan mengusap tiang tersebut maka ruh orang sholeh tersebut akan memberikan manfaat atau menolak mudhorot, tentu ini adalah syirik besar. (lihat At-Tamhiid hal 135)

Faidah hadits ini :

  • Buruknya kejahilan/kebodohan, karena Abu Waqid Al-Laitsi baru saja masuk Islam dan belum sempat mempelajari aqidah dengan lebih detail, akhirnya ia meminta sesuatu kepada Nabi yang ternyata merupakan kesyirikan. Hal seperti inilah yang membuat semakin ditekankannya pentingnya belajar aqidah dan juga mempelajari tentang kesyirikan untuk dijauhi. Tidaklah para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan kecuali karena kejahilan. Banyak diantara mereka justru menyangka bahwa meminta kepada penghuni kubur adalah bagian dari agama !!.
  • Yang menjadi tolok ukur adalah hakikat bukan penamaan. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi “Ya Rasulullah jadikanlah untuk kami Dzatu Anwaat…”, mereka tidak menamakan Dzatu Anwat dengan sesembahan, akan tetapi Nabi tetap menyamakannya dengan perkataan bani Israil kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sesembahan…”. Karenanya sebagian penyembah kubur yang meminta-minta kepada penghuni kubur menamakan perbuatan mereka dengan nama yang indah yaitu “tawassul” atau “Kecintaan terhadap para wali”, namun pada hakikatnya adalah kesyirikan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwasanya kuburan bisa menjadi sesembahan, beliau bersabda :

    اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِى وَثَناً، لَعَنَ الله قَوْماً اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

    “Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala, Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid” (HR Ahmad no 7358 dengan sanad yang shahih)

    Ini menunjukkan bahwa mencari keberkahan dengan kuburan adalah menjadikannya sebagai berhala yang disembah selain Allah. Hal ini semakin dikuatkan dengan :

  • Sesungguhnya permohonan para sahabat kepada Nabi untuk dibuatkan Dzatu Anwaat adalah syirik kecil, karena tujuan mereka hanya sekedar untuk mencari keberkahan bukan untuk menyembah pohon tersebut, karena mereka baru saja meninggalkan kekufuran (penyembahan terhadap berhala patung, batu dan pohon). Sehingga Nabi tidak menyuruh mereka untuk memperbarui Islam mereka. Akan tetapi tetap saja Nabi menyamakan permohonan mereka ini dengan perkataan bani Isra’il kepada Musa, “Jadikanlah untuk kami sesembahan….”
  • Bolehnya berdalil dengan ayat yang berkaitan dengan syirik akbar untuk mengingkari syirik kecil, karena perkataan kaum Musa yang memohon syirik akbar “Jadikanlah bagi kami sesembahan…” (yaitu memohon berhala untuk disembah) dijadikan dalil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengingkari perkataan para sahabat yang memohon syirik kecil
  • Harus mengembalikan segala perkara agama kepada timbangan al-Qur’an dan Hadits. Karena Abu Waqid dan para sahabatnya merasa bahwa membuat saingan bagi Dzatu Anwaat adalah perbuatan yang baik dalam rangka mencai keberkahan, namun ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingikarinya dengan keras. Oleh karena itu, tidak semua perkara yang sekilas kelihatan baik itu juga baik menurut syari’at.
  • Niat yang baik tidak serta merta menjadikan suatu perbuatan menjadi baik. Para sahabat tatkala meminta dibuatkan Dzatu Anwat tujuannya sangat mulia yaitu untuk menjadikan pedang-pedang mereka semakin ampuh agar bisa semakin bermanfaat dalam berjihad. Akan tetapi niat yang baik ini tidaklah cukup untuk mengubah kesyirikan menjadi kebaikan.
  • Mencari keberkahan dari pohon Dzatu Anwat yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman Nabi disamakan oleh beliau seperti mencari keberkahan terhadap berhala yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman Nabi Musa. Tidak ada bedanya antara bentuk pohon dan bentuk patung.
  • Orang yang baru saja terlepas (bertaubat) baik dari kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dikhawatirkan masih ada sisa-sisa kekufuran atau kesyirikan dalam pemikirannya. Oleh karena itu, Abu Waqid Al-Laitsi berkata

    وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ

    “Dan kami baru saja meninggalkan kekufuran”.

  • Bahayanya sering berinteraksi dengan kaum musyrikin sehingga mengakibatkan sebagian pemikiran mereka dan kebiasaan/tradisi mereka tertanam di kaum muslimin. Karenanya kaum Nabi Musa yang baru saja diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, yang baru saja menyaksikan mukjizat tongkatnya Nabi Musa dan terbelahnya lautan, begitu selamat dari melintasi laut merah dan melihat kaum musyrikin menyembah berhala, maka merekapun minta kepada Musa untuk dibuatkan berhala. Allah berfirman :

    وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (138) إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (139) قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

    Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan. Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (QA Al-A’raaf : 138-140)

Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya hal ini tidak lain karena terlalu lamanya kaum Musa bertetangga dengan kaum musyrikin di Mesir (para pengikut Fir’aun), terlebih lagi status mereka adalah terjajah dan diperbudak. Hal ini menjadikan sebagian pemahaman-pemahaman kesyirikan masuk dalam pemahaman mereka kemudian mengakar kuat.

Demikian juga sebagian kaum Anshor masih saja terpengaruh dengan sebagian khurofatnya orang Yahudi yang merupakan tetangga lama mereka di kota Madinah. Diantaranya khurofat bahwa jika seorang lelaki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya akan lahir dalam kondisi juling. Yang membuat mereka menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

([5]) Yaitu: mereka meminta dibuatkan Dzatu Anwath sebagaimana yang dimiliki oleh kaum musyrikin, untuk diharapkan berkahnya, bukan untuk menyembahnya -sebagaimana telah berlalu-

([6]) Sebagaimana telah lalu bahwasanya permohonan para sahabat untuk dibuatkan Dzatu Anwat adalah sekedar untuk diharapkan berkahnya, bukan untuk menyembahnya. Perbuatan ini merupakan syirik kecil dan bukan syirik akbar.

([7]) Tasyabbuh (meniru-niru orang kafir) yang haram adalah jika meniru-niru mereka pada :

  • Perkara-perkara yang tidak bermanfaat
  • Tradisi mereka yang merupakan ciri khas mereka
  • Perkara-perkara yang merupakan ritual keagamaan mereka.

Adapun meniru-niru mereka pada perkara-perkara yang bermanfaat maka hal tentu dibolehkan. Allah berfirman :

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (QS Al-A’raaf : 32)

Ayat ini menunjukan bahwa segala kebaikan pada asalnya disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang beriman.

Oleh karena itu, Nabi memakai cincin mengikuti tradisi para raja untuk dijadikan stempel tatkala menulis surat-surat resmi, karena hal ini bermanfaat. Demikian juga diriwayatkan -dengan sanad yang lemah- bahwa Nabi membuat khondak (parit) tatkala perang khondak karena ide dari Salman Al-Farisi yang menjelaskan bahwa membuat khondak adalah salah satu taktik perang yang dilakukan oleh kaum Majusi -para penyembah api- tatkala mereka terkepung.

Bersambung Insya Allah…