Minggu, 14 Juli 2024

SIRAH NABAWIYAH (7) - Masa Sebelum Nabi Dilahirkan - Terbangunnya peradabban di kota Mekkah

 

Terbangunnya peradabban di kota Mekkah

 

Sekarang, mari kita dengarkan ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma yang menceritakan kepada kita tentang kisah ini.

 

Ibnu Abbas Radhiyallahun anhuma berkata,  “Pertama kali kaum wanita memakai ikat pinggang adalah karena (meniru) Ummu Ismail (Hajar); di mana ia memakai ikat pinggang untuk menghilangkan jejaknya[1] dari Sarah. Nabi Ibrahim Alaihissalam membawa Hajar dan putranya Ismail –dalam keadaan Hajar menyusuinya- hingga Nabi Ibrahim Alaihissalam meletakkannya di tempat yang nantinya akan dibangun Baitullah; yaitu di dekat pohon besar di atas Zamzam, di atas bagian (yang nantinya berdiri di sana) masjid. Kala itu, di Mekkah tidak ada siapapun, dan tidak ada air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di sana. Nabi Ibrahim pun meletakkan di dekat mereka sebuah geriba berisi kurma, dan wadah berisi air. Lalu Nabi Ibrahim membalikkan punggungnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Hajar mengikuti Nabi Ibrahim dan berkata, “Wahai Ibrahim! Kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apapun di sini?” Hajar mengucapkan kata-katanya berulang kali, namun Nabi Ibrahim tidak juga menolehnya. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allâh yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Nabi Ibrahim menjawab, “Benar.” Hajar menimpali, “Kalau begitu, Allâh tidak akan menyia-nyiakan kami.” kemudian Hajar kembali ke tempat semula.

 

Nabi Ibrahim Alaihissalam terus pergi, hingga ketika sudah berada di jalan pegunungan dan tidak terlihat lagi oleh Hajar dan putranya, Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke (tempat yang nanti akan didirikan-red) Baitullah, lalu beliau memanjatkan doa berikut dengan mengangkat kedua tangannya:

 

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

 

Ya Rabb kami! sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.[ Ibrâhîm/ 14: 37]

 

Setelah itu, Hajar mulai menyusui Ismail. Ia meminum dari air yang ditinggalkan Nabi Ibrahim. Hingga ketika air telah habis, ia mulai merasa kehausan, begitu pula putranya, Ismail. Hajar menatap putranya yang meronta-ronta. Karena tak sanggup melihat keadaan putranya, Hajar berlarian meninggalkan putranya menuju bukit Shafa, bukit terdekat darinya. Ia naik lalu berdiri di sana dan memandangi lembah yang baru saja ia tinggalkan,  berharap ada orang lain di sana. Ternyata tidak ada seorangpun selain mereka berdua. Ia turun dari bukit Shafa dan terus berlari kecil melewati lembah sehingga sampai ke bukit Marwah. Ia berdiri di sana untuk memeriksa, apakah ada seseorang yang terlihat? Namun tidak ada seorang pun. Ia melakukan itu sampai 7 kali.

 

Ibnu Abbas berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

 

فَذَلِكَ سَعْيُ النَّاسِ بَيْنَهُمَا

 

Itulah (asal-mula) sa’i manusia (orang yang berhaji) di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”

 

Tatkala Hajar berada di atas Marwah, ia mendengar suara. Ia berkata kepada dirinya, “Diamlah!” Lalu ia mencari-cari dengar dengan seksama. Ia berkata, “Engkau sudah memperdengarkan suaramu, bila memang engkau bisa menolong (maka tolonglah)”. Ternyata ia dapati sesosok malaikat (Malaikat) di tempat air zamzam yang sedang mencari dengan kakinya (bagian belakang) – (atau perawi berkata:) dengan sayapnya- hingga muncullah air. (Melihat air itu-red), Hajar membendung air tersebut lalu menciduknya ke dalam wadah airnya, sedangkan air tersebut menyembur setelah diciduk Hajar.

 

Ibnu Abbas berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

 

يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ أَوْ قَالَ لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنْ الْمَاءِ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِينًا

 

Semoga Allâh merahmati Ibu Ismail. Sekiranya ia membiarkan air Zamzam –atau beliau bersabda: Sekiranya ia tidak menciduk air tersebut- tentulah air Zamzam sudah menjadi mata air yang mengalir.”

 

Lalu, Hajar minum dan menyusui anaknya. Malaikat berkata kepadanya, “Janganlah takut binasa! Sesungguhnya di sini ini rumah Allâh (Baitullah). Anak ini dan ayahnya akan membangunnya. Dan sungguh, Allâh tidak akan menyia-nyiakan orang-orang dekatnya.”

 

Adapun tempat yang menjadi Baitullah tersebut menonjol lebih tinggi dari tanah di sekitarnya, seperti bukit. Aliran air datang melewatinya dan menghanyutkan apa-apa yang ada di kanan kirinya. Demikianlah keadaannya, hingga ada sekelompok orang atau sekeluarga dari Jurhum lewat  yang datang dari jalan Kada’. Mereka turun di lembah bawah Mekah. Mereka melihat burung yang berputar-putar. Mereka berkomentar, “Sungguh, burung ini benar-benar tengah berputar di atas air. Sementara, yang kita tahu tentang lembah ini, tidak ada air di sana.” Lalu, mereka mengutus  satu atau dua orang utusan. Ternyata mereka jumpai air di sana. Utusan itu kembali menuju rombongan, dan memberitahu mereka tentang keberadaan air di sana. Mereka mendatanginya, sementara Ibu Ismail ada di sisi air tersebut. Mereka berkata, “Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah di tempatmu ini?” Hajar menjawab, “Ya, akan tetapi kalian tidak punya hak atas air ini.” Mereka membalas, “Ya.”

 

Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Permintaan izin orang Jurhum itu mendapat restu dari Ibu Ismail, karena dia senang tidak merasa sepi. Mereka turun dan bertempat tinggal di sana, dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka sehingga merekapun turut tinggal di sana.”

 

Akhirnya, ada beberapa keluarga dari kalangan Jurhum yang membuat rumah di sana, sementara Nabi Ismail terus tumbuh menjadi pemuda dan mempelajari Bahasa Arab dari mereka. Ismail Alaihissalam membuat kaum Jurhum terpesona dan terpukau. Ketika Ismail sudah beranjak dewasa, kaum Jurhum menikahkan Ismail dengan seorang wanita mereka. Saat itu, Ibu Ismail telah meninggal dunia.

 

Pasca menikah, Nabi Ibrahim Alaihissalam datang. Ia hendak melihat-lihat keluarga yang ditinggalkannya. Namun ia tidak berjumpa Ismail. Ia bertanya kepada istrinya tentang Ismail Alaihissalam, si istri berkata, “Ia keluar mencari rezeki untuk kami.” Kemudian Nabi Ibrahim Alaihissalam bertanya tentang keadaan dan kehidupan mereka. Istri Nabi Ismail Alaihissalam menjawab, “Kami dalam keadaan tidak baik, dalam kesempitan susah.” Ia mengeluhkannya kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata, “Bila suamimu sudah datang, sampaikan salamku kepadanya. Katakan kepadanya, agar ia mengganti palang pintunya.”

 

Ketika Ismail datang, seolah-olah ia mendapati sesuatu. Ia bertanya, “Apakah ada seseorang yang datang kepadamu?” Ia menjawab, “Ya. Ada orang tua datang kepada kita seperti ini dan itu. Ia bertanya kepadaku tentangmu, dan akupun memberitahukannya kepadanya. Ia bertanya kepadaku, ‘Bagaimana kehidupan kita?’ Aku beritahukan kepadanya bahwa aku dalam keadaan sulit dan payah.” Ismail bertanya lagi, “Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?” ia mnjawab, “Ya. Ia suruh aku menyampaikan salamnya untukmu. Ia juga berkata, agar Ismail mengganti ambang pintunya.” Ismail berkata, “Itu adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu. Pulanglah ke keluargamu.” Ismail menceraikan istrinya.

 

Baca Juga  Adakah Isi dan Kulit Dalam Ajaran Islam?

Lalu Ismail menikah dengan wanita lain dari kalangan mereka. Nabi Ibrahim meninggalkan mereka beberapa lama sesuai yang Allâh kaehendaki. Kemudian Nabi Ibrahim datang lagi setelah itu, namun ia tidak mendapati Ismail. Iapun masuk menemui istri Ismail. Ia bertanya kepada istri Ismail tentangnya. Ia menjawab, “Ia tengah mencari nafkah untuk kami.” Nabi Ibrahim bertanya lagi, “Bagaimana keadaan kalian?” Nabi Ibrahim juga bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istrinya menjawab, “Kami baik dan longgar.” Ia memuji Allâh atas hal itu. Nabi Ibrahim bertanya lagi, “Apa makanan kalian?” Ia menjawab, “Daging.” Nabi Ibrahim bertanya, “Lalu minuman kalian?” Istri Ismail menjawab: “Air.” Nabi Ibrahim berkata: “Ya Allâh, berkahilah mereka dalam daging dan minum mereka.”

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ketika itu mereka tidak punya biji-bijian. Sekiranya itu ada pada mereka, tentu Nabi Ibrahim akan mendoakan berkah pada biji-bijian mereka.”

 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Dua jenis makanan ini (air dan daging) kalau di selain Mekah, bila orang hanya mengkonsumsi dua hal ini saja (terus-menerus), pasti akan membuat masalah pada perutnya).”

 

Nabi Ibrahim Alaihissalam berkata, “Bila suamimu datang, sampaikan salamku padanya. Dan suruh dia agar tetap mempertahankan palang pintunya.” Ketika Ismail datang, ia bertanya, “Apa ada seseorang yang datang padamu?” istrinya menjawab, “Ya. Kita kedatangan seorang tua yang bagus penampilannya –ia memujinya- ia bertanya kepadaku tentang dirimu, dan aku pun memberitahukannya. Ia bertanya tentang bagaimana kehidupan kita, aku pun memberitahukan kepadanya bahwa kita dalam keadaan baik.” Ismail bertanya, “Apakah ia mewasiatkan sesuatu kepadamu?” Ia menjawab, “Ya. Ia menyampaikan salam untukmu, dan menyuruhmu untuk mempertahankan ambang pintunya.” Ia berkata: “Itu adalah ayahku. Engkaulah yang dimaksud dengan palang pintu. Ia menyuruhku agar tetap mempertahankanmu.”

 

Kemudian Nabi Ibrahim meninggalkan mereka dalam rentang waktu yang Allâh kehendaki. Lalu setelah rentang waktu tersebut Nabi Ibrahim datang, sementara Ismail Alaihissalam sedang meraut anak panahnya di bawah pohon besar, dekat dengan air Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia bangkit menuju ayahnya. Keduanya berlepas rindu seperti layaknya seorang ayah kepada anaknya dan seorang anak kepada ayahnya.

 

Nabi Ibrahim Alaihissalam berkata, “Wahai Ismail! Sesungguhnya Allâh memerintahkan suatu kepadaku.” Ismail berkata, “Lakukanlah apa yang dititahkan Rabbmu kepadamu!” Nabi Ibrahim berkata, “Engkau mau membantuku?” Ismail menjawab, “Aku akan membantumu.” Nabi Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allâh memerintahkanku agar aku membangun Rumah-Nya di sini – beliau menunjuk ke tanah yang menonjol tinggi dibanding tanah sekitarnya-.” Ketika itulah mereka berdua meninggikan pondasi-pondasi dari Baitullah Rumah Allâh. Ismail yang membawa batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang membangun dan memasangnya. Hingga ketika bangunan tersebut sudah tinggi (dan tangan Nabi Ibrahim sudah tidak sampai), Ismail pun datang membawakan batu ini (yang ada di maqam Nabi Ibrahim) dan Ismail meletakkannya untuk Nabi Ibrahim. Dan Nabi Ibrahim pun berdiri di atas batu tersebut, dan Nabi Ibrahim membangun sedangkan Ismail mengambilkan batu. Dan mereka berdua berdoa:

 

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

 

“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah/ 2: 127][2]


Bersambung - Insyaa Allah